Sebut saja
namanya Putra. Kelas tiga Sekolah Menengah Atas. Pendiam, pemalu tapi pintar.
Jika teman-temannya bertanya tentang pelajaran yang sulit, dia akan menjawab
tanpa banyak bicara. Seperlunya saja tapi tepat sasaran alias benar. Putra senang memecahkan permasalahannya
sendiri tanpa bertanya atau bantuan orang lain.
Adalah Putri,
teman se-SMA Putra yang selalu ceria, cerewet, banyak omong dan tidak terlalu
pintar dalam arti tidak masuk dalam jajaran rengking lima besar bahkan sepuluh
besar pun tidak. Dan Putra adalah tempat langganan Putri untuk bertanya kalau
ada pelajaran yang tidak dimengertinya.
Dalam
kehebohan merencanakan masuk perguruan tinggi, semua anak mencari informasi. Begitupun
Putra dan Putri. Antusias ikut seleksi melalui Rapor. Bedanya, Putra hanya
mengambil formulir, melengkapi berkas lalu menyerahkannya pada guru. Sedang
Putri amatlah cerewet, tanpa malu dia menghadap gurunya. Bertanya cara jitu
supaya lolos seleksi, jurusan mana yang berpeluang baginya untuk diterima,
perguruan tinggi apa yang harus dipilih dan ‘seabrek ‘ pertanyaan lain.
Hasilnya
ternyata disimpulkan bahwa Putri tak layak ikut seleksi karena nilai rapor
tidak memenuhi syarat. Terpaksa dia tidak mendaftar dan bersabar menanti SBMPTN
alias Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negri. Putra hanya tersenyum
melihat Putri yang kesal.
Namun tak
disangka saat pengumuman, Putra tidak lolos seleksi. Kabarnya, ternyata itu
karena salah strategi. Putra tidak
bertanya dan berdiskusi pada guru. Dia
menentukan sendiri pilihan perguruan tinggi dan jurusannya. Walhasil yang
dipilih putra adalah perguruan tinggi favorit dan jurusan yang sangat banyak
peminat sehingga persaingannya sangat ketat. Dan Putra pun kalah bersaing. Jika
saja dia mau bertanya pastilah lain ceritanya.
Lulus SMA, waktu
jadwal SBMPTN makin dekat. Putra belajar keras demi meraih cita-cita masuk ke perguruan
tinggi di jurusan yang diimpikannya. Namun Putri ternyata lain lagi. Setelah
melaui diskusi seru dengan orangtuanya, dia memutuskan untuk Bimbel satu tahun
dan ikut SBMPTN tahun depan. Dan karena Bimbel hanya seminggu tiga kali, dia
ingin membuka bisnis untuk mengisi waktu luang yang ada.
Di arena
SBMPTN, Putra mulai galau. Dia kesulitan mencari tempatnya, dimana kursinya?
Mau bertanya, tapi kemana? Semua juga sibuk mencari. Di areal halaman, ada
seorang Satpam, tapi Putra tak mau bertanya. Dia pikir, mana bisa seorang
Satpam mengetahui lokasi kursinya? Padahal
yang lain tak perduli, mereka bertanya pada siapa saja yang penting hadir tepat
waktu. Walaupun akhirnya Putra menemukan kursinya, tapi dia sudah lelah, stres
dan kehilangan konsentrasi. Dia sampai tepat satu menit lagi seleksi dimulai. Mengerjakan
soal dengan tak tenang. Dan hasilnya dia tidak lulus.
Sedang Putri
dengan santai mengikuti bimbingan. Sambil bertanya kesana-kemari tentang
bagaimana memulai bisnis. Tak malu-malu bertanya kanan-kiri. Berdiskusi dengan
orang yang dikenalnya maupun orang yang tidak dikenal tapi mempunyai pengalaman
dan sudah sukses. Walau dengan modal pas-pasan, Putri mencoba menjual pakaian
dengan segmen pasar remaja seusianya. Tak malu-malu menawarkan barang
dagangannya baik online maupun offline. Semua teman ditanya “Ada baju bagus
nih, mau beli nggak?” Dan tak disangka, dalam waktu satu tahun bisnisnya
berkembang dan saat ikut SBMPTN, Putri pun lulus. Masuk fakultas ekonomi di
perguruan tinggi negri yang dia impikan. Jadilah dia seorang sarjana dengan
biaya kuliah sendiri.
Pernah
merasakan hal seperti cerita diatas? Tersesat karena malas bertanya? Pasti
kesal dan geregetan ya. Sudah rugi waktu, tenaga, biaya, masih ditambah rasa
penyesalan karena tak sampai tujuan. Kalau begini siapa yang disalahkan? Jika
saja hanya tersesat dalam hal mencari lokasi alamat, mungkin kita masih bisa
memperbaikinya dengan cepat sehingga sampai di tujuan. Namun bagaimana jika
salah alamat dalam mencari jodoh atau mencari pendidikan yang tepat atau bisnis
yang sesuai seperti Putra dan Putri? Bisa-bisa masa depan dan hidup yang dijalani
menjadi menjadi kacau bin suram.
Ternyata oh
ternyata, banyak yang mengalami hal seperti ini. Anak-anak masih kebingungan
dalam menentukan arah tujuannya. Banyak keinginan dan ide, tapi tidak tahu
namun enggan bertanya. Rasa tertarik dengan lawan jenis, tapi bingung apakah
memang dia jodoh yang tepat. Mau bertanya tapi gengsi. Mau jadi karyawan bank,
tapi tidak tahu cara yang jitu. Bertanya pun malas. Ingin berbisnis dengan niat
jadi pengusaha, tapi tidak tahu mau usaha dibidang apa. Mau bertanya, malu. Punya
mimpi tapi tak menjadi kenyataan. Mewujudkannya hanya sebatas mimpi juga. Jika sudah begini, potensi ‘tersesat’ amatlah
besar.
Sebenarnya,
jika saja kita mau bertanya maka akan mendapatkan solusi walau hanya sedikit.
Setidaknya akan mendapatkan sedikit gambaran akan titik terang sebagai awal
langkah menuju tujuan. Semakin banyak bertanya, semakin kita mendapat beragam
jawaban yang dapat memperkaya pengetahuan. Berbagai alternatif bermunculan dan
yang terpenting kita tidak merasa sendirian dalam menghadapi kebingungan.
Berani adalah
kunci. Dan membiasakan diri adalah proses menemukan kunci tersebut. Biasakan
diri untuk bertanya dari hal yang kecil, seperti bertanya pada ibu “Masak apa
hari ini?” Atau pada guru “Kapan ulangan?” Dengan terbiasa akan membentuk
keberanian dan percaya diri dalam berkomunikasi.
Bertanya
bukan berarti kita bodoh, cerewet, kurang gaul atau kurang paham. Tetapi
bertanya adalah sebuah usaha untuk menjadi sempurna. Satu pertanyaan membuka pintu jawaban menuju
kesuksesan. Dari sini mimpi dapat terwujud. Untuk itu bertanyalah pada ahlinya
atau pada orang yang tepat. Singkirkan rasa malu apalagi gengsi. Mau bertanya
tak akan sesat di jalan. Bahkan kita selangkah lebih maju dan lebih tahu daripada
orang yang diam saja.
Mau bertanya
demi terwujudnya mimpi.